Pernikahan Dini dan Dampaknya: Bagaimana Pemberdayaan Perempuan Dapat Menjadi Solusi

Oleh: Riska Ayu Wijaya


Pernikahan adalah ikatan sakral antara laki-laki dan perempuan untuk membangun keluarga. Namun, agar pernikahan dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk fisik, mental, dan ekonomi. Sayangnya, di banyak negara, termasuk Indonesia, masih sering terjadi pernikahan dini yang justru membawa dampak negatif, terutama bagi perempuan.  

Pernikahan Dini dan Hak Anak yang Terampas
Pernikahan dini umumnya terjadi karena berbagai faktor, seperti tekanan sosial, ekonomi, serta pemahaman agama yang kurang tepat. Anak yang menikah di usia dini sering kali kehilangan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, bermain, dan berkembang secara optimal. Akibatnya, mereka cenderung mengalami keterbatasan dalam mencapai potensi terbaiknya, baik dalam aspek kesehatan, ekonomi, maupun sosial.  

Dari segi kesehatan, anak perempuan yang menikah terlalu muda lebih rentan mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan karena tubuh mereka belum siap secara biologis. Menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), pernikahan dini meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, serta membuat mereka lebih rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual.  

Dari segi pendidikan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2024, 8,16% perempuan Indonesia menikah pada usia 10-15 tahun. Hal ini berisiko besar menyebabkan anak putus sekolah, yang berdampak pada keterbatasan kesempatan kerja dan potensi mereka di masa depan.  

Dari segi ekonomi, pernikahan dini seringkali memperburuk siklus kemiskinan. Tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai, anak yang menikah dini cenderung mengalami kesulitan ekonomi, karena mereka tidak memiliki peluang kerja yang layak.  

Kesetaraan Gender sebagai Hak Asasi Manusia
Kesetaraan gender adalah konsep yang menekankan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik. Sayangnya, diskriminasi berbasis gender masih sering terjadi di banyak tempat. Salah satu bentuk diskriminasi yang masih marak adalah anggapan bahwa perempuan lebih baik menikah muda daripada mengejar pendidikan tinggi atau karier.  

Padahal, perempuan juga memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya, termasuk hak untuk menunda pernikahan hingga mereka merasa siap. Ketika perempuan diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki, mereka dapat lebih mandiri secara finansial, memiliki kontrol lebih besar atas hidup mereka, serta mampu membuat keputusan yang lebih matang, termasuk dalam hal pernikahan dan keluarga.  

Pemberdayaan Perempuan sebagai Solusi
Salah satu cara efektif untuk mencegah pernikahan dini adalah dengan meningkatkan pemberdayaan perempuan. Ketika perempuan mendapatkan akses pendidikan yang layak, keterampilan yang memadai, serta dukungan untuk berkembang, mereka memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan untuk memberdayakan perempuan:  

1. Pendidikan yang Berkualitas
   Pendidikan adalah kunci utama dalam mencegah pernikahan dini. Dengan pendidikan yang cukup, perempuan memiliki peluang lebih besar untuk bekerja dan mandiri secara ekonomi, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada pernikahan sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), angka perkawinan anak di Indonesia menurun dari 10,35% pada tahun 2021 menjadi 6,92% pada tahun 2023, menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran pendidikan memberikan dampak positif.  

2. Pelatihan Keterampilan dan Kemandirian Ekonomi
   Memberikan pelatihan keterampilan kepada perempuan, seperti keterampilan wirausaha, digital, atau keterampilan kerja lainnya, dapat membantu mereka memiliki penghasilan sendiri. Dengan begitu, mereka bisa lebih percaya diri dalam mengambil keputusan tentang masa depan mereka.  

3. Kesadaran dan Pendidikan bagi Orang Tua dan Masyarakat
   Banyak pernikahan dini terjadi karena tekanan dari keluarga atau masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran orang tua dan lingkungan sekitar tentang bahaya pernikahan dini serta pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.  

4. Dukungan Hukum dan Kebijakan yang Tegas
   Pemerintah perlu memperketat aturan terkait batas minimal usia pernikahan serta memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang tetap memaksa anak menikah di usia dini. Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendukung akses pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan agar mereka memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya.  

Kesimpulan
Pernikahan dini bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang memerlukan perhatian bersama. Untuk mengatasinya, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas. Dengan memberikan akses pendidikan, keterampilan, serta dukungan yang memadai, perempuan dapat lebih berdaya dalam menentukan masa depannya sendiri.  

Menurut data terbaru, angka pernikahan dini di Indonesia memang mengalami penurunan, namun masih ada anak perempuan yang menikah di usia sangat muda. Oleh karena itu, penting untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperkuat kebijakan yang melindungi hak-hak anak perempuan.  

Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi perempuan agar mereka bisa tumbuh, belajar, dan mencapai potensi terbaiknya tanpa terbatas oleh norma yang merugikan. 

Kesetaraan gender bukan hanya tentang hak perempuan, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera untuk semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARYA LITERASI B.INGGRIS XII-11

Ketergantungan Sosial terhadap AI dan Kehilangan Interaksi Manusia